Jumat, 13 Februari 2009

Arti Paskah



Hari raya Paskah (dari kata Ibrani: pesakh=melewati) adalah hari kebangkitan Yesus dari kematian. Yesus yang sepanjang hidupnya meniti jalan sengsara, melalui peristiwa Paskah, membebaskan manusia dari kuasa penderitaan dan menjadikan manusia benar-benar baru.



Umat kristiani merayakan hari Paskah dengan penuh luapan syukur dan sukacita, sebab Paskah menganugerahkan optimisme baru serta kehidupan yang lebih prospektif. Dalam perspektif teologis, maka perayaan Paskah sebagai peringatan Kebangkitan Yesus Kristus dari kematian merupakan inti dan dasar dari seluruh bangunan kekristenan.

Alkitab menegaskan "Andai kata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah juga kepercayaan kamu" (1 Korintus 15:14). Kebangkitan Kristus adalah wujud keterlibatan Allah kepada manusia yang mengakhiri kuasa kematian dan menggantikannya dengan kuasa kehidupan. Injil Yohannes mengungkapkan peristiwa itu dengan menegaskan kata-kata Yesus: "Akulah kebangkitan dan hidup, barang siapa percaya kepada-Ku ia akan hidup walaupun ia sudah mati" (Yohanes 11:25).

Hari kematian Yesus di kayu salib, yang dalam ruang lingkup gereja diperingati sebagai Hari Jumat Agung memiliki makna yang amat dalam dan mendasar, khususnya bagi umat kristiani. Hari Jumat Agung yang tahun ini jatuh pada 29 Maret 2002 diperingat oleh gereja-gereja di seluruh dunia dengan penyelenggaraan Perjamuan Kudus yang di dalamnya warga gereja yang telah dewasa dan mengaku percaya memakan roti (simbol dari tubuh Yesus) dan meneguk anggur (simbol dari darah Yesus) yan diberikan oleh gereja pada saat upacara Perjamuan Kudus itu. Dengan memakan roti dan minum anggur itu warga gereja melibatkan diri dengan yang mati dan bangkit serta melalui itu pula mereka mendapat kekuatan baru dan dikuduskan untuk mampu bergumul di tengah-tengah pergulatan dunia dengan aneka cobaan dan tantangan. Alkitab mendeskripsikan dengan amat jelas dan lugas kesengsaraan yang dialami Yesus hingga saat-saat kematiannya.

Dari pengungkapan Alkitab, kematian Yesus di kayu salib bukanlah sesuatu yang tiba-tiba saja terjadi. Jalan sengsara dan kematian adalah sesuatu yang memang menjadi alternatif yang dipilih oleh Yesus sendiri, dan bayangan seperti itu telah sejak awal ia nyatakan. Itulah sebabnya Yesus menolak dengan tegas ketika murid-murid berupaya untuk mengurung Yesus dalam tenda di gunung kemuliaan (Matius 17:1-13), dan justru turun dan meninggalkan gunung itu untuk menempuh penderitaan di Yerusalem. Beberapa kali murid-murid diberi tahu oleh Yesus bahwa ia harus pergi ke Yerusalem dan meminum cawan penderitaan di kota itu (Markus 8:31, dst). Ia konsisten dengan misi-Nya, ia tidak lari dari penderitaan. Ia datang menyongsong bahkan merangkul penderitaan, betapa pun getir dan pahitnya karena ia memiliki komitmen untuk itu.

Sinisme, hujatan, dan cemooh dari banyak orang mewarnai saat Yesus menderita di kayu salib. Mahkota duri ditaruh di atas kepala-Nya, sebatang buluh diletakkan pada tangan kanan-Nya, lalu orang-orang mengejek Yesus, meludahi-Nya dan memukul kepala Yesus dengan buluh (Matius 27:29-31).

Penderitaan dan kesengsaraan Yesus lengkaplah ketika orang-orang yang lewat di sekitar salib itu mengejek Dia: "Jika Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu! Orang lain diselamakan tetapi diri sendiri tak dapat Ia selamatkan" (Lukas 23:35 dan seterusnya).

Yesus tidak menyerah kalah oleh sinisme, cemooh, dan hujatan. Ia tegar dan konsisten. Pilihannya tidak berubah, jalan kematian mesti ditempuh, supaya manusia mengalami perspektif masa depan. Kematian Yesus adalah kematian yang real dan faktual, bukan maya dan hanya ada dalam dunia ide. Ia merasakan kesepian dan kesendirian ketika berhadapan dengan kematian, sehingga kemanusiaan-Nya mengaduh; "Allahku, Allahku mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Matius 27:46).

Kematian Yesus menginspirasikan beberapa hal kepada kita yang tengah menghidupi kekinian dunia. Pertama, Yesus mengajarkan bahwa keberpihakan terhadap manusia dan komitmen untuk memberi perspektif masa depan baru bagi manusia adalah segala-galanya. Keberpihakan dan komitmen itu tidak berhenti pada slogan, jargon, dan program, tetapi sesuatu yang real dan operasional, sesuatu yang bersifat action. Walaupun untuk mewujudkannya kita mesti menderita, harus kehilangan segala-galanya, bahkan kehilangan diri sendiri.

Kedua, Yesus tidak sekadar menjadi guru yang menunjukkan dan mengajarkan sesuatu tetapi Ia sekaligus menjalani dan mempraktikkan apa yang Ia ajarkan itu. Tidak ada ambivalensi dan dikotomi antara perkataan dan tindakan Yesus, keduanya bersifat integral dan menyatu. Apa yang Ia ajarkan, itu juga yang Ia lakukan.

Ketiga, peristiwa Jumat Agung menginspirasikan kepada kita bahwa Yesus concern dengan seluruh umat manusia tanpa mempertimbangkan kesiapaan manusia itu. Yesus benar-benar mempraktikkan sikap hidup inklusif di tengah-tengah perjalanan pelayanan-Nya. Kematian-Nya di kayu salib terarah bagi semua umat manusia, bukan hanya untuk sekelompok orang. Sikap inklusif seperti ini harus menjadi nada dasar serta gaya hidup gereja-gereja bahkan masyarakat dan bangsa di dalam masyarakat majemuk Indonesia. Dalam semangat inklusif itulah kita berjuang terus membangun rumah besar Indonesia yang di dalamnya semua orang dari berbagai suku, agama, etnik, dan golongan dapat tinggal bersama dengan penuh persaudaraan dan saling menghargai, tanpa rasa takut, curiga, dan waswas.

Keagungan Jumat Agung terletak pada kemauan dan kemampuan kita sebagai umat kristiani Indonesia untuk meneladani kerelaan Yesus dalam mereguk anggur penderitaan, bukan untuk kepentingan diri sendiri golongan/kelompok sendiri, tetapi untuk orang lain, untuk sesama manusia. Keagungan Jumat Agung akan banyak tergantung pada kesediaan kita sebagai warga gereja untuk mempersembahkan yang terbaik bagi bangsa dalam penuh ketaatan kepada Yesus Kristus yang tersalib itu.

Jumat Agung dan Paskah adalah tanda solidaritas serta pengorbanan Allah bagi pemulihan harkat-martabat manusia. Gereja yang ber-Paskah adalah gereja dan kekristenan yang menyatakan solidaritasnya bagi masyarakat dan bangsa yang tengah menapaki jalan penderitaan.
Bukan Gereja yang teralienasi dari degup pergumulan bangsanya, gereja yang introvert dan menghabiskan waktu dan energi untuk kepentingan diri sendiri.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda